Jumat, 24 Juni 2011

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL: APA YANG KITA CARI?

Meski mendapat kritikan dan kecaman keras dari berbagai pihak dengan program (Rintisan) Sekolah Bertaraf Internasionalnyanya tapi pemerintah nampaknya bergeming dan akan tetap melanjutkan program itu. Dirjen Mandikdasmen, Prof Suyanto PhD, mengatakan pemerintah akan tetap meneruskan program kontroversial ini meski tahu bahwa di Malaysia program serupa telah gagal dan akan dihentikan (Tempo, Edisi 11-17 April 2011). Di Malaysia program Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik dalam Bahasa Inggeris (PPSMI) yang serupa dengan program Sekolah Bertaraf internasional kita ini yang telah dimulai pada tahun 2003 ternyata gagal dan malah membuat kualitas pendidikan mereka merosot. Apa yang diharapkan dari program prestisius ini ternyata bukannya membuat kualitas pendidikan Malaysia mencorong dan sejajar dengan negara-negara maju seperti yang hendak diharap tapi malah merosot. Itulah sebabnya mereka memutuskan untuk menghentikan program PPSMI ini dan berupaya mencari program lain yang lebih baik.

Meski demikian hal ini tidak menyurutkan semangat pemerintah Indonesia untuk meneruskan program (R)SBI-nya. “Kita tidak usah ikut-ikutan Malaysia,” ujar Prof Suyanto seperti dikutip di Tempo. Maksudnya pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemdiknas, tidak akan ikut-ikutan menghentikan program ini meski juga jeblok. Tidak jelas apa alasan yang mendasari pemerintah untuk tetap ngotot melanjutkan program SBI ini meski hasil kajian dari Balitbang Kemdiknas yang dirilis baru-baru ini sendiri jelas-jelas menunjukkan bahwa tidak ada masa depan bagi program ini. Baru-baru ini Balitbang Kemdiknas yang diminta untuk mengevaluasi program RSBI ini merilis hasil studinya dan ternyata program ini memang memberikan gambaran yang suram. Lantas apa sebenarnya yang kita cari dari program SBI ini? Apa yang melandasi optimisme pemerintah bahwa program ini bakal mendulang sukses dan lebih baik daripada program serupa di Malaysia meski hasil studinya sendiri menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan optimisme tersebut?

Malaysia jelas jauh lebih siap dalam melaksanakan program tersebut dan mereka memiliki modal kapasitas pendidikan yang lebih unggul. Bahasa Inggris adalah bahasa kedua (second language) di negara tersebut karena mereka pernah dijajah Inggris. Kemana saja Anda pergi di negeri tersebut bahasa Inggris digunakan secara meluas karena bahasa Inggris adalah bahasa kedua mereka. Sama dengan bahasa Indonesia bagi kita. Koran-koran dan buku mereka sebagian besar menggunakan bahasa Inggris. Bahkan saat ini banyak warga Malaysia keturunan Cina yang justru menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa pertama (mother tongue) mereka. Guru-guru mereka jauh lebih kompeten baik dalam penguasaan materi maupun dalam penguasaan bahasa Inggris. Untuk program PPSMI mereka mempersiapkan segalanya dengan cermat mulai dari Buku Teks (Text Book) bagi siswa, Buku Latihan (aktiviti), Buku Panduan Guru (Teacher’s Guide), My CD (Pupil’s CD ROM) berupa multimedia pembelajaran berupa permainan, simulasi dan e-ujian, CD ROM Guru, Buku Praktik Sains (Science Practical Book), Buku Glossary Sains dan Matematik.

Semua hal yang diperlukan mereka persiapkan dengan cermat dan ditambah dengan latihan intensif bagi guru-guru untuk melaksanakan program tersebut sebaik-baiknya. Tapi toh program ini gagal mencapai tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Malaysia agar sejajar dengan negara-negara maju. Alih-alih mendapat lompatan kualitas setara dengan negara-negara maju prestasi mereka justru jeblok dan semakin menurun dari tahun ke tahun. Kajian dari TIMMS (Trends in International Mathemarics and Science Study) pada 2007 bahkan menunjukkan bahwa kemampuan siswa Malaysia dalam Sains dan Matematika terus merosot, dari nilai Matematika 519 di tahun 1999, turun ke angka 508 pada 2003 dan turun lagi pada angka 474 pada 2007. Apa yang semula diyakini dari program ini ternyata tak terbukti.

Melihat kenyataan ini mereka dengan sigap dan tanpa merasa gengsi menghentikan program tersebut. Mentri Pelajaran Malaysia Muhyiddin Yassin memutuskan untuk menghentikan program ini pada tahun 2012. Hanya sekolah-sekolah tertentu yang mungkin masih boleh meneruskan program ini. Pemerintah Malaysia tidak ingin berekperimen lebih jauh setelah tahu hasilnya ternyata justru sebaliknya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah program SBI kita memiliki masa depan lebih baik ketimbang PPSMI Malaysia? Tentu saja tidak. Dilihat dari kacamata apa pun kita jelas kalah modal kapasitas pendidikan dibandingkan Malaysia. Dalam uji TIMSS pada tahun 2003 nilai Matematika kita adalah 411 sedangkan Malaysia 508 dan di Sains kita berada di angka 420 dan Malaysia di angka 510. Bedanya hampir seratus angka.

Program (R)SBI kita juga tidak dipersiapkan sebaik-baiknya seperti Malaysia. Tak ada Buku Teks khusus yang dipersiapkan dengan cermat untuk program SBI ini. Tak ada Buku Latihan (aktiviti) khusus bagi siswa, Buku Panduan Guru (Teacher’s Guide), My CD (Pupil’s CD ROM) berupa multimedia pembelajaran berupa permainan, simulasi dan e-ujian, CD ROM Guru, Buku Praktik Sains (Science Practical Book), apalagi Buku Glossary Sains dan Matematik. Guru dan sekolah harus berakrobat sendiri untuk mendapatkan materi yang mereka butuhkan untuk melaksanakan program (R)SBI ini. Tak heran jika kemudian ada guru yang menerjemahkan ‘gaya’ (force) dalam Fisika menjadi ‘style’, ‘jari-jari’ lingkaran menjadi ‘fingers’, dll. Macam-macam penggunaan bahasa Inggris yang menggelikan dan sekaligus memprihatinkan dari para guru yang memang tidak dipersiapkan untuk itu.

Berdasarkan hasil evalusi Balitbang Kemdiknas, ditemukan bahwa program ini membuat para guru menjadi stress karena mesti mengajar dengan berbahasa Inggris yang tidak mereka kuasai. Mereka menderita dengan keharusan yang menurut mereka hanya membuat guru semakin nampak tidak kompeten di depan siswa (Using English as a medium of instruction make less effective learning process and make some teachers stressful). Tapi peraturan tetap peraturan dan mereka harus berakrobat untuk memenuhi tuntutan tersebut. Walhasil tak banyak guru yang konsisten dengan peraturan penggunaan bahasa Inggris ini dan sebagian besar kembali ke bahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa Inggris untuk memulai pelajaran dan ketika meninggalkan kelas.

Bagaimana dengan kemampuan berbahasa Inggris guru-guru RSBI ini sebenarnya? Apakah mereka memiliki kemampuan yang setara dengan para guru di Malaysia? Berdasarkan eveluasi yang dibuat sendiri oleh Balitbang Kemdiknas beberapa waktu yang lalu diperoleh temuan-temuan yang membelalakkan mata. Dari hasil studi pada 600 guru RSBI ternyata kemampuan bahasa Inggris mereka 50,7% berada pada taraf Novice yang artinya lebih rendah dari taraf Elementary dan yang Elementary sebanyak 32,1%. Artinya bahwa kemampuan lebih dari 80% guru RSBI ini sangat mengenaskan. Bagaimana mungkin guru yang pemahaman bahasa Inggrisnya saja sama dengan orang yang baru belajar bahasa Inggris tiba-tiba diharuskan untuk mengajar menggunakan bahasa tersebut? Bukankah ini sebuah tindakan yang bonek (bondo nekat) dan ‘tidak berprikemanusiaan’?
Kewajiban penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas jelas menyuli
tkan guru menyampaikan materi dan akan membuat mereka stress. Komunikasi yang efektif dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak digantikan oleh penggunaan bahasa Inggris yang kacau balau dan bahkan menjadi olok-olok oleh siswa mereka sendiri. Hal ini jelas sekali menyulitkan siswa dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru yang berbahasa Inggris berlepotan sehingga mereka terpaksa harus ikut les lagi di luar sekolah agar dapat memahami materi yang diajarkan Sungguh sebuah kesia-siaan. Hywell Coleman, peneliti dari British Council, menyatakan bahwa tujuan pengajaran dalam bahasa Inggris ini tidak jelas (The purpose of teaching other subjects through English is unclear). Bukan hanya itu, studi yang dilakukan oleh Hywell Coleman menunjukkan bahwa kebijakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar ternyata menyebabkan merosotnya kompetensi siswa dalam berbahasa Indonesia, bahasa nasionalnya sendiri. Jadi alih-alih menjadi lebih pintar berbahasa Inggris siswa justru merosot kompetensinya dalam berbahasa Indonesia. Secara logika saja kita bisa memahami betapa meruginya siswa yang harus memahami bahasa Inggris ala Tarzan dari para guru mereka dan mereka juga harus menyesuaikan diri dengan bahasa Tarzan tersebut dengan mengesampingkan bahasa Indonesia yang lebih praktis dan lebih mereka kuasai.

Temuan evaluasi Balitbang juga menemukan bahwa ternyata terjadi pungutan dana pada orang tua dalam jumlah besar yang tidak jelas mekanisme penggunaannya (Such an enormous amount of fees loaded on parents (development, tuition, etc) with lack of transparent mechanism).. Begitu juga dengan dana dari pemerintah pusat, propinsi dan daerah dan yang masuk ke kas sekolah (Proper report system has not been employed by RSBIs, notably in terms of the use of government’s special grant (IDR 300 million – 500 million per school). Ringkasnya, program ini memang rawan penyelewengan karena tidak ada pengaturan pemungutan, penggunaan maupun pelaporannya.

Sekolah dengan bebas menetapkan jumlah sumbangan bagi setiap siswa yang akan masuk ke sekolahnya meski tak ada satu pun peraturan yang melandasinya. Permendiknas yang selama ini dipakai sebagai alasan untuk memungut dana dari orang tua adalah permendiknas tentang SBI dan bukan untuk program RSBI. Tapi toh sekolah tidak perduli dan dengan semena-mena mereka memungut dana dari para ortu yang ingin bersekolah di tempatnya. Sekolah juga bebas menggunakan dana yang diperolehnya baik dari pemerintah mau pun dari orang tua karena memang belum diatur dengan sistem yang benar. Tidak heran jika kita kemudian kita mendengar bahwa para guru sekolah RSBI ini berlomba-lomba mengadakan studi banding ke luar negke Singapura, Asutralia, Jepang, maupun Cina dengan dana pungutan dari orang tua siswa meski tidak jelas apa yang mereka peroleh dari studi banding tersebut.

Selain masalah tersebut, evaluasi Balitbang Kemdiknas juga menemukan fakta bahwa seleksi penerimaan siswa pada sekolah RSBI ini yang semestinya berdasarkan potensi dan prestasi siswa ternyata di lapangan lebih banyak didasarkan pada tingkat kemampuan siswa untuk membayar uang sekolah yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan membayarnya semakin tinggi pula kemungkinan diterima (New students’ recruitment system is assumed as less transparent; in many cases student academic achievement is less considered than parent’s paying ability). Meski demikian juga tidak jelas apa tindakan pemerintah untuk menghentikan dan mencegah praktik ini terus berlangsung.

Saat ini pendaftaran siswa untuk sekolah-sekolah RSBI telah dimulai dan praktik yang sama berjalan kembali tanpa ada pengawasan dari pemerintah. Laporan tentang keluhan orang tua yang dimintai dana sampai puluhan juta agar bisa masuk ke sekolah-sekolah RSBI ini terus berdatangan tapi tak pernah ada tindakan samasekali untuk menghentikannya. Sebuah sekolah RSBI di bilangan Jakarta Pusat dengan ringan mematok biaya 45 juta rupiah untuk setiap anak yang mau masuk ke sekolah favorit tersebut. Padahal dalam laporan Balitbang dana pungutan paling tinggi dari sekolah hanyalah 10 juta. Artinya jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh sekolah RSBI tersebut. Apakah ini berarti Balitbang tidak mendapatkan data yang benar atau Balitbang telah diakali dengan informasi bohong oleh para sekolah RSBI? Meski melaporkan adanya temuan seperti ini tapi tidak jelas apa langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah untuk mencegah dan menghentikan praktik serupa.

Pungutan dana pada siswa di level SD dan SMP jelas bertentangan dengan UU. Bukankah UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) mengamanatkan bahwa :”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar TANPA MEMUNGUT BIAYA.” ? Bukankah dengan membuat pungutan berarti pemerintah telah melanggar UU Sisdiknas yang merupakan amanah yang harus diembannya? Bagaimana mungkin Permendiknas bisa bertentangan dengan UU Sisdiknas yang lebih tinggi tingkatnya?

Tanggapan Kemdiknas yang berkilah bahwa RSBI ini ibaratnya kereta listrik yang menggunakan AC sehingga patut berbayar lebih tinggi sungguh mengherankan. Nampaknya pemerintah ingin menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditi yang layak diperdagangkan dan untuk itu perlu dibentuk berkelas-kelas di mana orang kaya yang mampu membayar lebih mahal layak mendapatkan pelayanan lebih baik daripada siswa miskin. Dalih yang dikeluarkan bahwa ada jatah sebesar 20% di sekolah RSBI ini untuk siswa dari keluarga miskin justru menegaskan bahwa program SBI ini adalah untuk siswa kaya yang bisa membayar harga tinggi. 80% jatahnya memang diperuntukkan bagi mereka. Merekalah siswa Kelas Ekspres seperti yang disindir oleh Tempo. Jelas sekali bahwa program RSBI ini memang diperuntukkan bagi siswa kaya dan siswa miskin hanya punya jatah maksimum 20%. Ini sebuah kebijakan yang bertentangan dengan UU dimana dijamin bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan bukan asal bisa sekolah.

Bagaimana mungkin negara yang bertanggungjawab atas pendidikan bagi warganegaranya justru memperdagangkan pendidikan dan membuat klas-klas yang diskriminatif dalam pelayanan pendidikannya? Ini benar-benar sangat memprihatinkan.

Secara jelas Balitbang menunjukkan hasil evaluasinya bahwa persyaratan pendirian sekolah baru RSBI menjadi lebih longgar. Pemda di berbagai daerah berlomba-lomba membuka sekolah RSB karena sekolah yang masuk kategori ini akan mendapat bantuan dana baik dari Pusat, Propinsi, maupun dari Kota?Kabupaten. Ini artinya sekolah tersebut akan kebanjiran dana. Tapi pada akhirnya karena tidak ada seleksi yang ketat maka dalam banyak kasus justru sekolah-sekolah RSBI ini prestasinya malah jeblok (in many cases do not result in better school-performance). Jadi sekolah-sekolah yang semula adalah sekolah berkualitas “A” ternyata setelah menjadi sekolah RSBI lantas prestasinya menjadi jeblok. Jadi Evaluasi Balitbang Kemdiknas telah mendapat bukti nyata bahwa sebenarnya program (R)SBI ini sudah gagal untuk meningkatkan mutu sekolah.

Evaluasi Balitbang tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan akademis para guru (R)SBI ini pada beberapa bidang studi ternyata kalah bagus ketimbang guru reguler (Sebaran skor kemampuan Guru Biologi RSBI di SMA lebih rendah dibandingkan dengan guru biologi reguler. Sebaran skor kemampuan guru IPA (Fisika) kelas RSBI lebih rendah daripada skor guru reguler di SMA. Sebaran skor kemampuan pedagogik guru SD di kelas reguler cenderung lebih baik pada skor yang tinggi dari pada RSBI). Yang lebih mengejutkan adalah bahwa skor Matematika siswa RSBI relatif sama dengan siswa reguler padahal input sekolah-sekolah RSBI ini adalah siswa pilihan terbaik di daerah masing-masing. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa prestasi yang diperoleh sebelumnya justru merosot setelah mengikuti program RSBI ini?

Kebijakan ini pada akhirnya menyebabkan tumbuhnya sikap sosial negatif dari para siswa RSBI seperti yang ditemukan oleh Hywell Coleman, “The international standard schools appear to give rise to negative social attitudes between their pupils and those who study in mainstream schools”. Kita telah menciptakan generasi muda yang merasa dirinya superior dan lebih hebat daripada siswa-siswa lainnya karena bersekolah di sekolah RSBI ini.

Jika sebuah program pendidikan yang dilakukan dengan konsep yang asal-asalan, berbiaya tinggi, hasilnya jeblok, membuat kasta-kasta dalam pendidikan, menciptakan diskriminasi dan segregasi, telah gagal di negara lain meski dengan persiapan yang jauh lebih baik dan bahkan tak ada satu pun pihak yang bisa menunjukkan kelebihan dari program ini lantas mengapa harus tetap dipertahankan? Apa sebenarnya yang hendak kita cari dengan program ini?

Selama ini dalih yang digunakan adalah karena program Sekolah Bertaraf Internasional ini merupakan amanat Undang-undang sehingga jika tidak dilaksanakan maka itu berarti Kemdiknas melanggar AMANAT Undang-undang. Benarkah demikian…?!

Nampaknya ada kesalahpahaman pemerintah dalam menerapkan UU ini. UU yang dijadikan sebagai dasar untuk menjalankan program ini adalah UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sbb : Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Undang-undang ini samasekali tidak berbicara tentang perlunya sekolah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahkan menurut UU Sisdiknas Pasal 41 bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Jadi kebijakan bahasa pengantar bahasa Inggris ini melanggar UU Sisdiknas itu sendiri. UU ini juga tidak mengamanatkan pemerintah untuk menciptakan kelas-kelas sosial dalam pendidikan. UU ini juga tidak mengamanatkan pemerintah menganakemaskan siswa kaya dari siswa miskin dengan memberi mereka kemewahan menggunakan sekolah terbaik di seluruh indonesia dengan jatah 80%. UU ini juga tidak melegalkan pungutan liar dalam pendidikan dan juga bahkan melanggar UU tentang pembiayaan pendidikan di pendidikan dasar. UU tersebut hanya menyatakan perlunya ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dan apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan program (R)SBI-nya tidaklah mencerminkan pemenuhan amanat Undang-undang tersebut. Itu semua hanya kesalahan interpretasi pemerintah dalam menerjemahkan pasal dalam UU belaka. Dan untuk itu pemerintah harus menginterpretasikan dan memformulasikan ulang pemahamannya atas pasal dalam UU itu. Jika tidak maka kita akan terus terperosok ke dalam lobang yang semakin dalam tanpa mampu keluar dari lobang yang kita buat sendiri.


Jakarta, 12 April 2011
Satria Dharma
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More